JAKARTA, KOMPAS.com - Kepala Divisi Hubungan Masyarakat dan Promosi Komite Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (KP3EI), Edib Muslim, mengatakan penyatuan zona waktu di Indonesia bukan hal yang baru.
Bahkan saat ini, kata dia, sebagian masyarakat sudah terbiasa hidup dengan zona waktu GMT+9 atau setara dengan waktu Indonesia tengah (WITA).
"Indonesia bukan hal yang baru. Kakek kita mengalami satu zona waktu, mana (ada) kita protes sama Jepang. Tahun 1942-1945 kita ngikutin GMT+9," sebut Edib, di Jakarta, Jumat (25/5/2012).
Ia menjelaskan secara historis Indonesia sudah mengalami penyatuan zona waktu. Itu terjadi pada zaman penjajahan Jepang yakni sekitar tahun 1942-1945.
Pada masa sekarang pun, kata Edib, sebagian masyarakat sudah hidup dengan patokan waktu WITA itu.
Ia lantas mencontohkan masyarakat yang beraktivitas di Stasiun Bogor, Jawa Barat. Masyarakat di stasiun tersebut sudah mulai melakukan aktivitas sejak pagi buta.
"Banyak masyarakat kita yang hidup sudah GMT+9. Kalau kita ke Stasiun Bogor jam 04.30, ketemu saudara-saudara kita hidup jam 04.00 pagi. Itu GMT+9," sambung dia.
Ia mengatakan, bila ada sejumlah pihak yang keberatan saat ini mungkin karena belum paham betul seperti apa manfaat penyatuan zona waktu. Menurut Edib, hampir tidak ada kerugian dari rencana pemerintah ini.
Lantas, karena memperhitungkan masa sosialisasi yang diminta Bank Indonesia selama 90 hari, KP3EI pun melakukan simulasi bahwa penyatuan zona waktu paling cepat bisa dilakukan pada tanggal 28 Oktober 2012 mendatang.
Hal ini mundur dari jadwal sebelumnya tanggal 17 Agustus 2012 dengan alasan bertepatan dengan Lebaran.
"Kalau misalnya BI minta 90 hari sosialisasi, kita hitung itu paling cepat tanggal itu," pungkas Edib.
0 comments:
Post a Comment